Arigoethe's Story

Kearifan Tubuh Perempuan Hanya Bisa Dicerna dengan Kecerdasan

Posted in Day Events by arigoethe on August 1. 2010

KOMPAS.com – Seks telah ada dan lahir jauh sebelum ada agama dan negara, apalagi teknologi media. Selama ribuan tahun, kearifan tubuh perempuan telah disikapi dengan kecerdasan oleh manusia purba, dimaknai dengan penuh hormat dan penuh kuasa oleh perempuan.

Ketika gagasan tentang negara mewujud, lebih tepatnya ketika ideologi untuk mendominasi memasuki ruang berpikir manusia, prinsip-prinsip patriarki menguasai cara menjalankan negara. Kontrol dan intervensi terhadap pendefinisian peran dan seksualitas perempuan, sekaligus merampas kendali perempuan atas dirinya, adalah salah satu yang utama.

Di Indonesia, intervensi negara terhadap pendefinisian peran dan seksualitas perempuan terus berlangsung. Negara penjajah menambahkan unsur rasisme terhadap perempuan pribumi, negara-negara jajahan punya unsur tak kalah dahsyat: feodalisme. Negara merdeka terus melanjutkan upaya intervensi itu.

Reformasi politik tahun 1998 meski memberi cahaya baru bagi pergerakan perempuan dan dalam beberapa hal menghasilkan kebijakan yang berpihak pada hak perempuan, tetap tidak mengurangi hasrat negara melanjutkan intervensi terhadap pendefinisian peran dan seksualitas perempuan.

Publik-privat
Lahirnya Undang-Undang Pornografi, misalnya, menurut ilmuwan filsafat Dr Gadis Arivia hanya melahirkan kedunguan pengetahuan tentang seks, menegasikan kecerdasan, dan melahirkan kekeruhan berpikir. Hiruk-pikuk komentar dan kecaman mengenai kasus-kasus yang dikategorikan “pornografi” dan “ketidakpantasan” adalah cerminan itu.

“Definisi (dalam UU Pornografi) tidak didasari penelitian dan kajian yang membentuk masyarakat cerdas terhadap seks, yang mengutamakan pendidikan tentang seks dan bukan mengandalkan mitos atau tabu dan takut terhadap seks,” tegas Gadis, pengajar pada Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, dalam pidato pada acara ulang tahun ke-15 Yayasan Jurnal Perempuan, Kamis (29/7) lalu di Jakarta.

Pidato Gadis tampaknya merupakan tanggapan bagaimana negara (dan media) telah memasuki ranah pribadi individu dan tak lagi bisa membedakan urusan publik dan urusan privat (juga dalam soal keyakinan).

Soal pribadi Ariel-Luna Maya-Cut Tari adalah kasus terbaru bagaimana negara dan media mengeksploitasi soal pribadi menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. “Sementara soal negara, seperti penggelapan pajak dan kartel, direduksi menjadi soal personal elite politik,” lanjut Gadis.

Definisi yang luas dan kabur suatu undang-undang tidak akan menghasilkan ketertiban, tetapi kekacauan. Kasus video pribadi yang dilakukan tiga orang dewasa yang seharusnya bukan persoalan pidana telah dijadikan obyek kriminal dan polisi.

“Di dalam UU tersebut disebutkan pelaku dan penyebar video porno masuk dalam jeratan UU Pornografi. Pertanyaan saya, berapa banyak audience yang telah mengunduh video itu dan berapa banyak yang telah melihat isi video itu?”

Manusia dewasa seharusnya paham tentang seks dan hubungan seks. “Masyarakat yang dikekang pengetahuan seksnya melahirkan masyarakat yang salah paham mengenai seks,” Gadis melanjutkan, “Masyarakat yang diajari membenci seks melahirkan masyarakat munafik.”

Mengutip survei google trend 2007, Gadis mengungkapkan, negara-negara yang membebaskan pornografi untuk orang dewasa, seperti Denmark, mengalami penurunan minat pornografi di semua kalangan. Sebaliknya, negara yang terus menanamkan virus ketakutan dan kebencian terhadap seks ke dalam benak warganya adalah yang terbanyak mencari situs seks.

Kecerdasan
“Kearifan tubuh perempuan hanya bisa dicerna dengan kecerdasan,” tandas Gadis. “Negara yang cerdas terhadap seks melahirkan masyarakat yang cerdas pula.”

Inilah pekerjaan rumah itu: mendidik negara cerdas terhadap seks. Seperti dikatakan Gadis, “Terbukti, kedunguan terhadap pengetahuan seks menyebabkan kebijakan-kebijakan tidak efektif, masyarakat fobia terhadap tubuh perempuan, anak-anak salah pemahamannya tentang seks, serta kelompok-kelompok radikal yang menakutkan merusak dan hanya bisa marah-marah.”

Kemarahan
Gadis mencatat, kemarahan itu menelan banyak korban. Sebutlah Sophia Latjuba, Inneke Koesherawaty, dan Sarah Azhari yang diinterogasi penampilan mereka di tabloid (1999); Inul Daratista dengan goyangnya (2003); pameran seniman Agus Suwage atas Anjasmara di Museum Nasional (2005); tarian jaipong yang dipermasalahkan Gubernur Jawa Barat (2009); Artika Sari Devi yang memakai bikini dalam acara Miss Universe (2005); Enno Lerian di film terbarunya (2010); yang terbaru, ciuman Krisdayanti dan Raul Lemos, serta masih banyak lagi.

“Di lain pihak, adakah yang memprotes kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu? Sekilas, kelompok-kelompok itu, polisi, dan pemimpin negara telah berkolusi menentang seksualitas perempuan dan mengambil jalan ‘aman’ dengan mengkriminalkan tubuh perempuan,” kata Gadis.

Nama Gadis Arivia (46) tak bisa dilepaskan dari Jurnal Perempuan, penerbitan berkala yang membahas isu-isu terkait feminisme. Terbit pertama untuk umum pada Agustus tahun 1996, tetapi embrionya, Buletin Kampus, telah terbit awal tahun 1990-an. Yayasan Jurnal Perempuan berdiri pada Juli 1995.

Jurnal Perempuan merambah ke bidang radio awal tahun 2000-an dan menerbitkan majalah remaja, Change (2008). Para pengelolanya juga menjadi bagian dari dunia aktivisme.

(Maria Hartiningsih)

Sumber Kompas

Leave a comment