Arigoethe's Story

ciuman

Posted in Day Events by arigoethe on April 27. 2010

Pada postingan yang lalu saya bercerita tentang pacaran. Walaupun itu saya sadur dari blog saya yang lama, saya rasa ga masalah buat mengingatkan kembali, dan sedikit banyaknya ada hubungan dengan posting tentang ciuman ini. 🙂
Ciuman, memiliki berbagai macam arti dan bentuk, biasanya tergantung pada individu yang melakukannya. Saya jadi teringat dengan guru fisika waktu SMA dulu yang mengartikan ciuman dengan istilah fisika, “Ciuman adalah gaya tarik menarik antara dua mulut dimana jarak antara satu titik dengan titik yang lain adalah nol”. hahaha… 😀

Ciuman sendiri mempunyai arti yang berbeda dari tempat lokasi menciumnya, ada yang di punggung tangan, kening, pipi, bibir, bahkan untuk yang lebih vulgar lagi ada di bagian leher, dan lokasi erotis lainnya dari tubuh. Uuuppss,, tapi bukan itu yang ingin saya bahas disini. Yang ingin saya bahas adalah arti ciuman dimasyarakat Indonesia secara global.

Intimasi dalam arti kedekatan relasi personal yang mendalam antara seorang laki-laki dan perempuan sering melahirkan konotasi negatif dalam vernakular sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin karena itu pembicaraan tentangnya masih cenderung tidak dilakukan secara terbuka. Sejak lama orang menganggap keintiman bukan sesuatu yang pantas dibicarakan, apalagi dipertontonkan di depan khalayak ramai. Sampai saat ini, misalnya, film-film yang disiarkan televisi di Indonesia, bahkan sekalipun itu film Hollywood, selalu menghilangkan bagian terbesar adegan ciuman penuh berahi lelaki versus perempuan. Ironisnya, ekspresi keintiman dalam bentuk adegan yang jauh lebih sensual, seperti gerakan-gerakan tari yang cenderung erotis, meskipun tanpa adegan ciuman, dalam film-film Bollywood, itu justru disiarkan secara lengkap, dan sejauh ini tidak ada yang memprotesnya. Ada sejenis ambivalensi dalam masyarakat kita dalam menyikapi penyiaran intimasi di layar TV.

Ketika film Buruan Cium Gua (BCG) mendapat protes dari beberapa kalangan masyarakat kita, bukan saja adegan filmis ciuman yang mengundang kontraversi, tapi bahkan pencantuman kata “ciuman” secara terbuka menjadi judul sebuah film pun dianggap tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Di lain pihak, negara saat ini justru sangat sibuk mengatur tatalaksana tubuh biologis warganya. Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP), yang sangat kontroversial itu, misalnya, memperlihatkan bagaimana negara merasa memiliki kepentingan mengontrol beberapa aspek intimitas dalam kehidupan warganya. Ciuman (di tempat umum) termasuk salah satu yang akan ditertibkan. Intimitas ditarik masuk ke dalam wilayah politik kekuasaan, dan negara mengklaim dirinya sebagai otoritas yang berwenang mengaturnya demi tertib sosial.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam masyarakat kita saat ini? Apa yang terjadi di balik semua itu? Diskusi bulanan Yayasan Interseksi tgl. 14 februari 2007 yang lalu mencoba memetakan beberapa persoalan yang mengiringi berlangsungnya proses transformasi keintiman dalam masyarakat Indonesia. Secara lebih spesifik, Dr. Martin Slama, antropolog dari Austrian Academy of Sciences, yang datang sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mendiskusikan banyak hal fundamental dalam hidup kita yang bisa dimulai dari sebuah kajian tentang praktek ciuman.

Slama menceritakan awal ketertarikannya untuk mempelajari praktek ciuman dalam masyarakat Indonesia ketika ia sedang belajar bahasa Indonesia hampir sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu ia merasa penasaran dengan arti kata jadian “mencium” dalam bahasa Indonesia yang berwayuh makna: mengecup pipi atau bagian tubuh yang lain yang padanannya dalam bahasa Inggris adalahto kiss” (“küssen” dalam bahasa Jerman), dan membaui sesuatu atau to smell” dalam bahasa Inggris (“riechen” dalam bahasa Jerman). Merujuk pada hasil kajian atas beberapa naskah klasik Jawa seperti Serat Centini, yang di dalamnya terdapat informasi tentang teknik atau cara para bangsawan Jawa menggoda kekasihnya, Slama menduga bahwa praktek ciuman yang dilakukan dalam masyarakat Indonesia berbeda dari apa yang dikenal dalam prakteknya pada masyarakat Eropa. Ini diperkuat oleh laporan antropolog Bronislaw Malinowski bahwa praktek ciuman seperti yang biasa dilakukan oleh orang Eropa dahulu sama sekali tidak dikenal dalam masyarakat-masyarakat Asia, bahkan di China dan Jepang sekalipun.
Pada bagian lain Slama menguraikan pergeseran makna praktek ciuman dalam masyarakat Eropa (dan Amerika) dari zaman ke zaman. Pada zaman Pertengahan, ciuman merupakan bagian dari upacara. Artinya ia merupakan bagian dari kehidupan publik. Di zaman Pencerahan, ketika kehidupan domestik/privat dipisahkan secara tegas dari kehidupan publik, ciuman dimaknai sebagai praktek yang hanya boleh dilakukan pada ranah privat. Lebih dari itu, ciuman bahkan secara eksklusif mulai ditafsirkan sebagai praktek romantis. Pada awal abad 20, praktek ciuman kembali muncul dalam kehidupan publik ketika orang justru berusaha menciptakan ruang-ruang privat di dalam ranah publik. Mengutip argumen Eva Illouz, praktek semacam itu terjadi di dalam “islands of privacy in public”. Dalam sejarah perfilman Hollywood terjadi perkembangan menarik ketika pada tahun 1930 dikeluarkan apa yang disebut Hollywood code. Isinya, antara lain, adegan ciuman lidah dalam film sebaiknya dihindari. Baru pada tahun 1968, seiring munculnya revolusi kultural di Eropa dan Amerika, Hollywood code dihapuskan, dan praktek ciuman kembali tampil di depan publik (penonton). Menariknya, salah satu isi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (2004) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2002, Pasal 41 justru dimulai dengan larangan adanya adegan ciuman romantik/erotis (Ayat 1). Ciuman yang diperbolehkan hanyalah yang terjadi dalam konteks kekeluargaan dan persahabatan: mencium rambut, mencium pipi, cium tangan, cium dahi dan sungkem (Ayat 2).

Pembahasan tema mulai menusuk memasuki problem sosial yang lebih mendasar ketika praktek ciuman juga ternyata merupakan salah satu tapal batas kapan Barat dimulai dan Timur berakhir dalam wacana yang berkembang di Indonesia. Ambivalensi masyarakat kita terhadap praktek keintiman di depan publik ternyata bukan hanya terjadi saat ini, melainkan sudah sejak lama. Merunut pada laporan Clifford Geertz, misalnya, seorang laki-laki di Pare akhir tahun 1950an mengaku bahwa dia tidak keberatan dengan adegan ciuman dan adegan romantis lainnya dalam film Amerika. Tapi ia keberatan kalau hal itu terjadi dalam film Indonesia. Lima puluh tahun kemudian, sebuah penelitian di Yogyakarta juga mendapati kenyataan yang persis sama.

Bagi saya ciuman tidak masalah asal tau arahnya kemana. Tapi kita juga harus hati-hati dengan ciuman. Ciuman karna ungkapan rasa sayang dapat berubah menjadi nafsu. Dan nafsu ini bisa berlebihan dan sulit dikendalikan. Ini bisa berlanjut ke hal-hal yang ga kita inginkan. Jadi, kita emang harus pintar jaga diri dan tahu betul apa yang boleh dan yang tidak. Tahu batasan kalo lagi menjalin hubungan dgn seseorang. Kamu pasti pernah lihat film, adegan ciumannnya suka melibatkan lidah dan lama(french kiss). Belum lagi settingnya amat romantis. Bisa menimbulkan perasaan ingin menirunya. Tapi yg French kiss kayak gini, kamu harus extra hati-hati. Yang namanya berlebihan pasti gak baik, jadi kalo dilakukannya secara berlebihan, ini bisa menyeretmu ke hal yg lebih jauh. Belum lagi resiko tertular penyakit karna adanya pertukaran air ludah. Wah, ngga lucu dunk,  flu gara-gara ciuman dengan pacar yang lagi flu berat. Sekarang, kamu punya bekal untuk menebak perasaan kekasihmu lewat ciumannya. Paling ngga buat jaga-jaga, dia tipu-tipu apa emang beneran cinta. Ngga usah takut untuk mecari tahu deh. Buat kamu juga khan? 🙂

Leave a comment